Profil Daerah Tempat Kelahiran Saiful Husein
Assalamu Alaikum Wr. Wb
Nama saya Saiful Husein. Saya lahir dan dibesarkan di sebuah kota yang damai yaitu Aceh Tamiang. Kali ini saya ingin mendeskripsikan Profil daerah kelahiran saya secara singkat.
Yang pertama: Kehidupan di Aceh Tamiang.
Aceh Tamiang adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Aceh, Indonesia. Lebih tepatnya saya tinggal di sebuah desa bernama Desa Rantau Bintang, Kecamatan Bandar Pusaka, dikabupaten tersebut. Di tanah kelahiran saya memiliki banyak sekali hal- hal unik dan menyenangkan, dan banyak pula ciri khas dari tempat tersebut. Lingkungan rumah saya sangat bersih dan masyarakat disini ramah dan ber- etika.
Yang kedua: Makanan khas.
Disini terdapat banyak makanan khas diantaranya adalah Bubur Pedas Kahs Tamiang. Bubur pedas dikenal sebagai makanan Suku Melayu, begitu juga bagi masyarakat Suku Tamiang di Aceh yang merupakan bagian Etnis Melayu. Dikatakan bubur pedas karena rasanya yang pedas.
Penyajian bubur pedas selalu ada pada waktu bulan Ramadhan, Penyambutan Tamu, dan Acara kenduri. Bubur Pedas di Aceh Tamiang memiliki filosofi yakni “Sempene atau keberkahan” karena dalam proses pembuatannya tidak hanya mengandalkan kreativitas tetapi bahan-bahan yang digunakannya memiliki makna tersendiri.
Salah satu bahan yang ada di dalamnya menggunakan umbi-umbian, yaitu: ubi kayu, ubi jalar kuning dan merah serta labu kuning, dimana umbi-umbian yang dimakan baik untuk kesehatan metabolisme tubuh. Selain itu sebagai pengugah selera bisa ditambah dengan kepiting dan ikan asin. Bagi masyarakat Suku Tamiang, bubur pedas ini sebagai warisan budaya kuliner di Kabupaten Aceh Tamiang.
Dan banyak lagi makanan lainnya yang menjadi ciri khas Aceh Tamiang
Yang Ketiga: Tempat Wisata
Wisata Kuala Paret. Terletak di kawasan Desa Kaloy, Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, tempat ini selalu ramai dikunjungi pada akhir pekan atau musim liburan. Untuk sampai di sana para wisatawan jika berangkat dari pusat Kota Banda Aceh akan melalui jarak tempuh perjalanan dengan darat menghabiskan waktu kurang lebih 9 jam atau 463 kilometer untuk sampai Kuala Simpang.
Setibanya di pekan pulau tiga, yang merupakan pusat kota di Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, terdapat petunjuk yang mengarahkan agar belok ke kiri hingga ke lokasi. Di sana, sebuah papan nama bertuliskan Objek Wisata Kuala Paret terpampang di pinggir jalan. Untuk mencapai lokasi objek wisata, pengunjung hanya harus menempuh perjalanan sekitar 10 kilometer lagi.
Sepanjang jalan pengunjung bakal melewati perkampungan, perkebunan kelapa sawit milik perusahaan AMPI. Kemudian setibanya di ujung perkebunan kelapa sawit tersebut terdapat tanda penunjuk arah menuju objek wisata Kuala Paret. Setelah tiba di sana, pengunjung masih harus berjalan kaki untuk dapat tiba di lokasi itu, sekitar kurang lebih 300 meter.
Saat tiba di lokasi, gemuruh air sungai yang melewati bebatuan memadati indra pendengar. Ditambah lagi dengan suara burung berkicau. Objek wisata air Kuala Paret memang begitu eksotis, terlebih dihimpit oleh perbukitan. Rasanya cukup untuk membayar perjalanan yang telah ditempuh yang lumayan melelahkan itu.
Objek wisata Kuala Paret direkomendasikan menjadi salah satu tempat yang paling tepat untuk menghilangkan rasa penat dari kebisingan kota, terlebih saat libur akhir pekan tiba. Bagaimana tidak, pesona keindahan alam mampu membuat pengunjungnya terhipnotis. Tebing berwarna kecokelatan dan aliran air sungai yang berwarna kehijauan akan langsung menyambut pengunjung setibanya di sana.
Keindahan alamnya semakin memikat karena dikelilingi pepohonan dan lereng yang masih begitu alami. Bebatuan karang berongga terbelah aliran deras air dari hulu sungai, sehingga menambah kesempurnaan alam ciptaan sang Ilahi.
Meski begitu, pengunjung juga harus tetap memperhatikan faktor keselamatan. Sebab, untuk bisa sampai ke sungai, pengunjung harus menuruni bebatuan yang ada di tebing. Bebatuan itu cukup licin ketika dipijak. Selain itu, sungai Kuala Paret juga memiliki arus yang deras, apalagi ketika memasuki musim hujan. Maka dari itu, pengunjung yang tidak pandai berenang tidak disarankan menyebur ke sungai.
Yang Ketiga: Pakaian Adat
Pakaian Tradisional Tamiang yang kini sering di tampilkan pada acara adat perkawinan telah banyak mengalami modifikasi. Sehingga terkadang menutupi ciri asliannya. Sangat di sayangkan jika identitas ciri leluhur Tamiang hilang begitu saja. Meskipun kita berada pada masa zaman yang serba modern, namun kehidupan masa lalu adalah jati diri yang tidak boleh di lupakan begitu saja. Agar generasi masa kini tidak mudah terbawa arus budaya luar yang terkadang jauh dari syariat agama.
Dalam penggunaan pakaian Tradisional kelompok etnis Tamiang sesungguhnya tidak ada perbedaan antara pakaian sehari-hari dengan pakain adat resmi. Perbedaan hanya terdapat pada perlengkapan dan cara memakainya.
Bagi anak laki-laki tampil dalam bentuk pakaian tradisional ia memakai celana baju dan daster. Mereka memakai celana (seluar) yang berukuran panjang, baju teluk belanga, kain samping(kain sarung) serta memakai daster atau (tengkulok) bentuk anak-anak berbeda dengan yang di pakai oleh orang dewasa. Bagi anak-anak dasternya tidak begitu runcing dan juga ada sedikit tekuk. Selain itu bagi pakaian anak-anak tidak memakai ikat pinggang.
Pakaian yang di kenakan oleh pemuda dan orang tua etnik Tamiang mempunyai bentuk yang sama dengan pakaian anak-anak. Mereka memakai celana (seluar) yang berukuran panjang agak longgar, dengan pinggang besar , begitu juga paha dan kaki lebih longgar.
Baju yang di kenakan berbentuk teluk belanga mempunyai ciri leher kerah bulat (kecak musang) berbadan longgar serta tangan panjang dan longgar. Setelah memakai celana dan baju selanjutnya dilapisi dengan kain sarung yang di gulung setinggi lutut.
Tata cara pemakaian kain di sesuaikan dengan status sosial. Untuk golongan para raja dan datuk-datuk memakai kain samping tingginya sampai lutut. Sedangkan bagi rakyat biasa tinggi kain samping hingga batas betis.
Perlengkapan lainnya yang di gunakan adalah berupa aksesoris tali pinggang diatas pulungan kain samping dan di lengkapi sebuah senjata tradisinal Tamiang yang bernama Tumbuk lada.
Tumbuk lada ini sejenis pisau dengan gagang bermotif kepala burung atau di sebut juga dengan lekuk segi enam. Daster dan tengkulok adalah bagian akhir dari pakaian yang di pakai di kepala. Dsater setelah di bentuk menjadi runcing keatas.
Apabila seseorang ingin menghadiri acara adat penggunaan kain sarung di lipit tapi dalam penggunaan sehari-hari kain sarung di gulung atau di lipat. Pada masa lampau biasanya kain di beri sulaman atau hiasan seroji dengan motif awan berarak atau pucuk rebung (tumpal) kain tersebut merupakan kain tekat(kain songket). Bagi bangsawan pada kaki celana bertekat(sulaman).
Nah setelah membaca artikel diatas gimana nihh pendapat temen- temen. Tertarik kah untuh datang ke Aceh Tamiang.
SEKIAN DARI SAYA.
Wassalam
GG bang
BalasHapusSaya berminat untuk lebih mengetahui tentang aceh tamiang
BalasHapus